Penerimaan Peserta Didik Baru MA Asasul Islamiyah Tahun Pelajaran 2017/2018 dibuka :
Sejarah Kodifikasi Al-Quran
|
Al-Quran adalah wahyu
yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara
berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh
manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang
tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita
haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan
serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan
mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam
meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Mushaf Al-Qur’an yang
ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang
berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai
latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas
keotentikan Al-Qur’an langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam
firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9: "Sesungguhnya Kamilah yang
menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya"
Al-Quran
pada jaman Rasulullah SAW.
Pengumpulan Al-Qur’an
pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama : al Jam'u fis
Sudur
Para sahabat langsung
menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini
bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang
arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa
syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan
kekuatan daya hafalannya.
Kedua : al Jam'u fis
Suthur
Yaitu wahyu turun kepada
Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke
madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun
berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu
membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk
menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau
karena khawatir akan bercampur dengan Al-Qur’an. Rasul SAW bersabda "Janganlah
kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis
sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya " (Hadis
dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (hal 1).
Biasanya sahabat
menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit
binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu (
pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al-Qur’an waktu itu
mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an telah
terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan)
oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata:
"Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis
Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Dari kebiasaan menulis
Al-Qur’an ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki
oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin
Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin
Ma'qal.
Adapun hal-hal yang lain
yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Qur’an pada waktu itu
adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al-Qur’an ke wilayah musuh.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan
Al-Qur’an kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila
catatan Al-Qur’an tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Kisah masuk islamnya
sahabat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa
waktu itu `Umar mendengar saudara perempuannya yang bernama Fatimah sedang
membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Al-Qur’an kemudian
`Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab ia
mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk islam.
Sepanjang hidup Rasulullah
s.a.w Al-Qur’an selalu ditulis bilamana beliau mendapat wahyu karena Al-Qur’an
diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara bertahap.
Al-Quran
pada zaman Khalifah Abu Bakar as Sidq
SEPENINGGAL Rasulullah
SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip)
Al-Qur’an, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Quran
yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al-Qur’an yang susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin
nuzul).
Imam Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan
naskah-naskah Al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang
diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:
"Suatu ketika Abu
bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah ,
ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap
kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat
banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al-Qur’an, aku khawatir kejadian
serupa akan menimpa para penghafal Al-Qur’an di beberapa tempat sehingga suatu
saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al-Qur’an, menurutku sudah saatnya
engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al-Qur’an, lalu aku
berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab:
"Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan".
Selanjutnya Umar selalu
saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku
setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
Zaid berkata: Abu bakar
berkata kepadaku : "engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar,
kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Qur’an) untuk
Rasulullah s. a. w., maka sekarang periksa dan telitilah Al-Qur’an lalu
kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf".
Zaid berkata :
"Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu
gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk
mengumpulkan Al-Qur’an. Kemudian aku teliti Al-Qur’an dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain).
Kemudian Mushaf hasil
pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi
pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar,
setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri
Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Semua sahabat sepakat
untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan
oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al-Qur’an menjadi sebuah Mushaf. Kemudian
para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al-Qur’an dan menulisnya kembali.
Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini
dengan mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu
bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali
mengumpulkan Al-Qur’an, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut
Al-Qur’an sebagai Mushaf).
Menurut riwayat yang
lain orang yang pertama kali menyebut Al-Qur’an sebagai Mushaf adalah sahabat
Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut
di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur’an yang dikumpulkan
dan di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar
mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al-Qur’an yang telah
dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam
Al-Qur’an sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah
satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang
Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al-Qur’an)"
Al-Quran
pada jaman khalifah Umar bin Khatab
Tidak ada perkembangan
yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan oleh
khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang telah dicapai oleh khalifah
pertama yaitu mengemban misi untuk
menyebarkan islam dan
mensosialisasikan sumber utama ajarannya yaitu Al-Qur’an pada wilayah-wilayah
daulah islamiyah baru yang berhasil dikuasai dengan mengirim para sahabat yang
kredibilitas serta kapasitas ke-Al-Quranan-nya bisa dipertanggungjawabkan
Diantaranya adalah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.
Al-Quran
pada jaman khalifah Usman bin ‘Affan
Pada masa pemerintahan
Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga
menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja ('Ajamy).
Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya
adalah ketika mereka membaca Al-Qur’an, karena bahasa asli mereka bukan bahasa
arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang
sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah
bin al-yaman.
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu
memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi
untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap
Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat
perbedaan bacaan Al-Qur’an yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata : "wahai
usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al-Qur’an,
jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi
dan nasrani ".
Lalu Usman meminta
Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang
telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin
al-Haris dan lain-lain.
Kodifikasi dan
penyalinan kembali Mushaf Al-Qur’an ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan
apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku
Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan gaya bahasa mereka.
Setelah panitia selesai
menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya
Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al-Qur’an
selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.
Mushaf hasil salinan
tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan
Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan
dikenal sebagaiMushaf al-Imam.
Tindakan Usman untuk
menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat
islam sehingga ia manual pujian dari umat islam baik dari dulu sampai sekarang
sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al-Qur’an.
Adapun Tulisan yang
dipakai oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang
pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik
sebagai pembeda huruf).
Tanda
Yang Mempermudah Membaca Al-Quran
Sampai sekarang,
setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah
salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa
khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang
tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada
tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan
umat islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama
setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan
Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah
terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen
Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand
(Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di
Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di
kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang
asli apa adanya.
Sampai suatu saat ketika
umat islam sudah terdapat hampir di semua belahan dunia yang terdiri dari
berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda sehingga memberikan inspirasi
kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada
waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu
I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari
khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada
mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah
riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang
yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata "Warasuulihi" yang
seharusnya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada
QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy
menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah,
kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika
suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf
Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun
alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai
Idgham seperti "ghafurrur rahim".
Adapun yang pertama kali
membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama karakternya (nuqathu
hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf
as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H).
Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun,
dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang adalah al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
Kemudian pada masa
Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah
orang untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an khususnya bagi orang selain arab
dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka juga
membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat,
tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan
identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun,
jumlah ayat, dan jumlah 'ain.
Tanda-tanda lain yang
dibubuhkan pada tulisan Al-Qur’an adalah Tajzi' yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan
penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk
menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz
dan Juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan mesin
cetak, Al-Qur’an disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara
tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa
menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah
Al-Qur'an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
Naskah tersebut
sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini semakin
mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang
pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf edisi Malay
Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia.
Kemudian diikuti oleh
percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838
dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel,
menerbitkan Al-Qur’an yang dilengkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat.
Sayangnya, terbitan
Al-Qur’an yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata
mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan
sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan
Al-Qur’an dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat
dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al-Qur’an yang
banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga
dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang
memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat
Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M.
Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak dengan
tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah.
Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki
yang terkemuka Said Nursi.
Langganan:
Postingan (Atom)